Rabu, 12 Januari 2011

kebudayaan Papua



Nama PAPUA berasal dari pelaut Portugis ketika pertama kali mereka melihat pulau ini pada tahun 1511 yang kemudian mereka menamakan Ilhas dos Papuas yang berarti 'pulau dihuni orang berambut halus'. Para pelaut Belanda kemudian menyebut Papua dengan nama “New Guinea karena kulit orang Papua mengingatkan mereka dengan orang Guinea di Afrika. Nama Irian  sendiri berasal dari bahasa Biak (salah satu pulau di utara Papua) yang berarti daratan panas yang muncul dari laut. Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), para nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Di bawah pemerintahan Belanda, Papua dikenal dengan sebutan Dutch New Guinea dan ketika wilayah ini beralih ke Indonesia namanya diubah menjadi Irian Barat, kemudian Irian Jaya, dan sekarang Papua. Pada tahun 1969 pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa musyawarah yang dilakukan di tiga tempat yaitu Merauke, Jayawijaya, dan Paniai menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan Papua bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia. Papua kemudian menjadi propinsi ke-26. Papua merupakan daerah yang penuh harapan, daerahnya belum banyak didatangi oleh manusia dan Papua juga kaya dengan sumber alam yang menjanjikan peluang untuk berniaga dan berkembang. Tanahnya yang luas dipenuhi oleh hutan, laut dan berbagai biotanya dan berjuta-juta tanahnya yang sesuai untuk pertanian. Dalam perut buminya juga menyimpan gas asli, minyak dan berbagai bahan galian yang hanya menunggu untuk digali.

Tipe Pemukiman Penduduk Papua

Penduduk pesisir pantai :
Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka. Dan rata – rata penduduknya mempunyai rumah diatas tiang (rumah panggung).

Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah :
Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu dihutan dikeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru.

Penduduk pegunungan yang mendiami lembah :
Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah. Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak seketat penduduk dataran rendah.

Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung :
Melihat kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih "KANIBAL" hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga.

Bahasa

Di Papua ini terdapat ratusan bahasa daerah yang berkembang pada kelompok etnik yang ada. Aneka berbagai bahasa ini telah menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi antara satu kelompok etnik dengan kelompok etnik lainnya. Oleh sebab itu, untuk memudahkan berkomunikasi Bahasa Indonesia digunakan secara resmi oleh masyarakat - masyarakat di Papua bahkan hingga ke pedalaman.

Kebudayaan Papua

Tusuk Hidung
Tusuk hidung merupakan salah satu kebudayaan dari daerah pegunungan tengah Papua. Melubangi bagian tengah hidung dilakukan umumnya oleh laki - laki. Bukan berarti perempuan tidak boleh melakukannya, tetapi kebanyakan dari perempuan lebih memilih untuk melubangi telinganya. Budaya yang satu ini menggambarkan kedewasaan bagi sang penggunanya.

Dewasa dalam arti disini yaitu sudah dapat membantu meringankan pekerjaan orang tua seperti 'membelah kayu' bakar untuk kepentingan keluarga, membantu orang tua mengerjakan ladang bahkan membuka ladang baru sendiri, hingga menggambarkan kesiapan pelakunya untuk hidup berumah tangga. Cara melubanginya pun terbilang ekstrim. Melubangi hidung/septum dan telinga tidak menggunakan jarum seperti yang sedang trend saat ini. Tetapi alat yang digunakan adalah sebatang kayu dengan diameter 1 - 2 cm yang diruncingkan dan ditusukkan pada septum. Kemudian kayu tersebut dibiarkan selama beberapa waktu hingga luka tersebut sembuh dan akan diperoleh lubang sebesar kayu itu.

Pelaku harus berpantang makan buah-buahan seperti ketimun, labu, dan berbagai umbi-umbian yang berbentuk bulat selama dalam masa proses penyembuhan. Hidung dan telinga yang telah berlubang ini akan berubah fungsi ketika diadakannya upacara dan pesta adat. Lubang-lubang tersebut akan menjadi tempat bagi assesories penghias wajah. Sepasang taring babi, moncong/paruh panjang burung-burung pemakan buah yang dihiasi dengan manik-manik yang bergantungan, hingga berbagai macam bentuk kayu akan dipasangkan di sana. Bagi kaum adam itulah salah satu cara memikat hati kaum hawa. Sementara jika dalam suasana perang, benda-benda yang dipasangkan dalam lubang tersebut akan menggambarkan kejantanan penggunanya.

Namun sayang, budaya ini nampaknya mulai tergusur oleh jaman. Saat ini jarang ditemukan kaum muda yang melakukan hal tersebut.

Potong Jari
Bagi penduduk pengunungan tengah dan khususnya masyarakat Wamena di Papua ungkapan kesedihan akibat kehilangan salah satu anggota keluarga tidak hanya dengan menangis saja dan biasanya mereka akan melumuri seluruh tubuhnya dengan lumpur dengan jangka waktu tertentu. Namun yang membuat budaya mereka berbeda dengan budaya kebanyakan suku di daerah lain adalah memotong jari mereka.

Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh para Yakuza (kelompok organisasi garis keras yang terkenal di Jepang atau mafia jepang) jika mereka telah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi atau gagal dalam menjalankan misi mereka. Sebagai ungkapan penyesalannya, mereka wajib memotong salah satu jari mereka. Bagi masyarakat pengunungan tengah, pemotongan jari dilakukan apabila anggota keluarga terdekat seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak, atau adik meninggal dunia.

Pemotongan jari ini melambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Ungkapan yang begitu mendalam, bahkan harus kehilangan anggota tubuh. Bagi masyarakat pegunungan tengah, keluarga memiliki peranan yang sangat penting. Pemotongan jari itu umumnya dilakukan oleh kaum ibu, namun tidak menutup kemungkinan pemotongan jari dilakukan oleh anggota keluarga dari pihak orang tua laki-laki atau pun perempuan. Pemotongan jari tersebut dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.

Pemotongan jari dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang memotong jari dengan menggunakan alat tajam seperti pisau, parang, atau kapak. Cara lainnya adalah dengan mengikat jari dengan seutas tali beberapa waktu lamanya sehingga jaringan yang terikat menjadi mati kemudian dipotong.

Namun kini budaya ‘potong jari’ sudah ditinggalkan. sekarang jarang ditemui orang yang melakukannya beberapa dekade belakangan ini. Yang masih dapat kita jumpai saat ini adalah mereka yang pernah melakukannya tempo dulu. Hal ini disebabkan oleh karena pengaruh agama yang telah masuk hingga ke pelosok daerah di Papua.


Tarian Papua

Balada Cendrawasih
Balada Cendrawasih merupakan sebuah tarian yang menceritakan tentang ancaman kepunahan burung cendrawasih. Penari yang dilibatkan dalam tarian ini terdiri atas 3 kelompok. Kelompok pertama terdiri atas 3 orang penari yang berperan sebagai pemburu. Pada kelompok kedua terdiri dari 13 orang penari perempuan dan seorang penari laki-laki yang memerankan burung Cendrawasih. Sementara kelompok ketiga terdiri atas kelompok pemusik.

Cerita dalam tarian ini diawali dengan adegan 13 burung cendrawasih betina yang bercanda gurau. Setelah itu datanglah seekor cendrawasih jantan yang kemudian berhasil menarik perhatian salah satu burung betina. Keduanya kemudian saling memadu kasih sementara yang lainnya tampak gembira. Pada saat itulah masuklah 3 orang pemburu yang mengamati pergerakan sepasang cendrawasih yang sedang kasmaran. Setelah kedua penari yang memerankan sepasang cendrawasih yang sedang kasmaran tersebut, para pemburu kemudian memainkan perannya. Dalam cerita tarian tersebut, para pemburu berhasil menembak jatuh cendrawasih jantan dengan menggunakan anak panah. Ketika itu pula 13 burung cendrawasih betina digambarkan menghilang / pergi meninggalkan tempat itu. Sementara itu ketiga pemburu tadi bergembira setelah memperoleh buruannya.

Pada bagian berikutnya menceritakan 3 orang pemburu yang masuk hutan untuk memburu burung cendrawasih. Mereka memanggil-manggil burung cendrawasih dengan menirukan suaranya namun tidak seekorpun yang tampak. Setelah lama mencari kemudian mereka mulai menyadari bahwa apa yang telah mereka lakukan menyebabkan hilangnya burung cendrawasih dari hutan mereka. Tarian ini diakhir dengan menyanyikan lagu "Balada Cendrawasih" oleh salah seorang pemburu.

Yosim Pancar
Yosim Pancar atau biasa disingkat Yospan adalah tari pergaulan / persahabatan para muda-mudi yang dibawakan empat pasang muda - mudi diiringi lagu daerah berhasa lokal dan Indonesia. Yospan merupakan penggabungan dari dua tarian rakyat di Papua, yaitu Yosim dan Pancar.

Yosim semacam tarian poloneis dari dansa barat dan berasal dari Sarmi, namun ada juga yang mengatakan dari Serui atau Biak. Sedangkan Pancar adalah suatu tarian yang berasal dari Biak Numfor dan Manokwari meniru gerakan-gerakan 'akrobatik' di udara seperti gerakan jatuh jungkir balik dari langit, mirip daun kering yang jatuh tertiup angin dari pesawat tempur jet Neptune buatan Amerika Serikat yang dipakai Angkatan Udara Belanda di Irian Barat. Awal 1960-an, konflik Belanda-Indonesia seputar status kedaulatan atas Irian Barat masih berlangsung. Karena pesawat tempur ini digerakkan oleh pancaran gas (jet), maka tarian yang meniru gerakan akrobatiknya mula-mula disebut Pancar Gas, kemudian disingkat menjadi Pancar. Sejak kelahirannya awal 1960-an, Pancar sudah memperkaya gerakannya dari sumber-sumber lain, termasuk dari alam.  Tari Yosim Pancar memiliki dua regu pemain yaitu Regu Musisi dan Penari. Penari Yospan lebih dari satu orang dengan gerakan dasar yang penuh semangat, dinamik dan menarik. Beberapa jenis gerakannya yang terkenal seperti Pancar gas, Gale-gale, Jef, Pacul Tiga, Seka dan lain-lain.

Keunikan dari tarian ini adalah pakaian, aksesoris, dan alat musiknya. Warna dan jenis pakaian yang digunakan masing-masing Grup Seni tari/sanggar seni Yospan berbeda-beda, namun ciri khas Papua untuk aksesoris hampir sama. Alat-alat musik yang dipakai untuk mengiringi tarian Yospan seperti Gitar, Ukulele (Juk), Tifa dan Bass Akustik (stem bass). Ukulele, Tifa dan Stem Bass biasanya dibuat sendiri. Yospan cukup populer dan sering diperagakan pada setiap event, acara adat, kegiatan penyambutan dan festival seni budaya. Yospan juga biasa ditampilkan di Manca Negara untuk memenuhi undangan atau mengikuti Festival disana.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar